Tsunami menerjang wilayah pantai di Selat Sunda, Banten, pada Sabtu, pukul 21.27 WIB. Akibat peristiwa ini, sebanyak 222 orang meninggal dunia dan 28 lainnya dinyatakan hilang.
BNPB juga mencatat 843 orang mengalami luka-luka. Sehingga total sementara korban mencapai 1093 korban. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah karena proses evakuasi korban masih terus belangsung.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyatakan fenomena tsunami di Selat Sunda termasuk langka.
"Letusan Gunung Anak Krakatau juga tidak besar. Tremor menerus namun tidak ada frekuensi tinggi yang mencurigakan. Tidak ada gempa yang memicu tsunami saat itu," ujar Sutopo dalam akun Twitter miliknya.
Meski fenomena tsunami tersebut tergolong langka dan tsunami bisa terjadi kapan saja, pemerintah sebenarnya sudah menyiapkan beberapa program penanggulangan tsunami, seperti alat pendeteksi tsunami dan pembangunan shelter.
Namun kenapa masih banyak nyawa yang tidak terselamatkan? IDN Times merangkum 2 program yang dibangun oleh pemerintah namun dirusak oleh tangan-tangan jahat sekelompok orang.
1. Pembangunan shelter tsunami yang dikorupsi dan merugikan negara Rp16 miliar
Pemerintah menganggarkan Rp18 miliar dari APBN 2014 untuk pembangunan shelter tsunami di Labuan, Pandeglang, Banten. Dana tersebut dikelola oleh satuan kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan dimenangkan oleh PT Tidar Sejahtera.
Namun hasil pekerjaan proyek tersebut ternyata tidak sesuai dengan spesifikasi dan karenanya tidak bisa digunakan sebagai bangunan penyelamat dari gempa dan tsunami sehingga dinyatakan gagal konstruksi. Kerugian negara dari proyek ini mencapai Rp16 miliar lebih.
Direktur PT Tidar Sejahtera Takwin Ali Muchtar, Manajer PT Tidar Sejahtera WIyarso Joko Pranolo dan PPK Kementerian Pekerjaan Umum Ahmad Gunawan dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek pembangunan shelter tersebut. Majelis hakim pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri (PN) Serang memvonis ketiga terdakwa 1,3 tahun penjara dan denda Rp50 juta pada 25 Juni 2018.
2. Rusaknya alat pendeteksi gempa selama belasan tahun dan mahalnya dana yang dikeluarkan
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan alat pendeteksi tsunami (buoy) di beberapa wilayah perairan rusak, termasuk di perairan Selat Sunda. Bahkan alat pendeteksi tsunami di Selat Sunda sudah rusak dan hilang sejak 2007. Hingga saat ini, alat pendeteksi tsunami di perairan Selat Sunda belum dipasang kembali.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho pernah menyebut rusaknya buoy lantaran aksi vandalisme. Sementara Kepala Pusat Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Tiar Prasetya mengatakan pengadaan dan pemeliharaan buoy merupakan kewenangan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Diketahui pada 2006 BPPT mendapat tugas pembuatan buoy dari Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat hingga mendapat anggaran Rp 30-40 miliar. Namun usia buoy hanya berlangsung 5 tahun. Minimnya dana riset dan mahalnya ongkos pemeliharaan menjadi alasan BPPT tidak melanjutkan pembuatan buoy tsunami.
3. Kerusakan akibat tsunami Banten
Dalam bencana tsunami Banten, tidak ada korban warga negara asing. Semua warga Indonesia. Para korban berasal dari 4 kabupaten, yakni Kabupaten Pandenglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Tanggamus.
Selain korban jiwa, akibat tsunami Banten juga terdapat kerusakan material meliputi 556 unit rumah rusak, 9 unit hotel rusak berat, 60 warung kuliner rusak, 350 kapal dan perahu rusak.
Baca sumbernya
Komentar
Posting Komentar